Konsep konstruksi pembelajaran yang mendalam dengan mengadopsi filosofi Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia yang sangat dihormati. Filosofi ini tidak hanya menekankan pada pemberian pengetahuan, tetapi juga memberikan pijakan bagi pengembangan karakter dan kepribadian siswa.
Meskipun kekayaan
filosofi dan prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara telah menjadi bagian
integral dari warisan budaya Indonesia, sayangnya masih ada lembaga pendidikan
yang belum mengadopsi konstruksi pembelajaran yang sesuai dengan nilai-nilai
yang beliau ajarkan. Fenomena ini menunjukkan adanya tantangan yang beragam
dalam mengintegrasikan filosofi Ki Hajar Dewantara ke dalam sistem pendidikan
saat ini.
Kurangnya
pemahaman mendalam mengenai konsep-konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar
Dewantara menjadi kendala utama. Banyak guru dan pengambil kebijakan pendidikan
yang belum sepenuhnya memahami makna dan relevansi dari prinsip-prinsip seperti
"ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani".
Akibatnya, implementasi filosofi ini dalam praktik pembelajaran sering kali
terabaikan atau disalahartikan.
Selain itu,
tekanan dari tuntutan kurikulum nasional yang seringkali lebih menekankan pada
penguasaan materi akademis daripada pengembangan karakter dan kepribadian juga
menjadi faktor penyebab rendahnya adopsi konstruksi pembelajaran yang sesuai
dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Hal ini menimbulkan dilema antara memenuhi
standar akademis yang ditetapkan dan memberikan ruang bagi pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara.
Bayangkan seorang
siswa duduk di bangku sekolah, menerima pengajaran yang berfokus pada hafalan
dan penilaian berbasis tes. Hal itu tanpa tersadar terjadi sebelum mempelajari modul
1.1 mengenai Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Praktik
pembelajaran memberikan penekanan yang kuat pada materi akademis, tetapi jarang
sekali membahas nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab
yang merupakan inti dari pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Dalam
kelas-kelas ini, siswa belajar bagaimana mempelajari konsep-konsep Bahasa Jawa
secara ilmiah, tetapi jarang sekali mendapat kesempatan untuk mengembangkan
kepemimpinan, empati, atau kemampuan berpikir kritis.
Di samping itu,
perhatikan pula suasana di ruang guru dan ruang rapat sekolah. Meskipun
poster-poster dengan kutipan-kutipan inspiratif Ki Hajar Dewantara menghiasi
dinding, namun seringkali gagasan-gagasan tersebut hanya menjadi dekorasi tanpa
pengaruh yang nyata dalam pola pikir dan tindakan para pemangku kebijakan
pendidikan. Keputusan-keputusan penting masih sering diambil berdasarkan
pertimbangan administratif atau kebutuhan praktis, tanpa memperhitungkan
dampaknya terhadap pengembangan karakter dan moralitas siswa.
Dengan demikian,
perlu adanya upaya yang lebih besar dalam menyelaraskan visi pendidikan
nasional dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan
cara ini, sistem pendidikan Indonesia dapat lebih efektif menciptakan
lingkungan belajar yang berorientasi pada pengembangan karakter, kepemimpinan,
serta kepedulian sosial sesuai dengan filosofi pendidikan yang telah diteladani
oleh salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia ini.
Melalui pendekatan
ini akan dibahas bagaimana prinsip-prinsip Ki Hajar Dewantara dapat diterapkan
dalam desain pembelajaran modern untuk menciptakan lingkungan belajar yang
inklusif, berdaya guna, dan berbudaya. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai
kearifan lokal dan universal, pembaca akan mendapatkan wawasan yang mendalam
tentang bagaimana membangun pendidikan yang berdampak positif bagi masyarakat
secara keseluruhan.
Dalam meniti
perjalanan pendidikan, salah satu mata pelajaran yang memegang peran penting
dalam membentuk identitas budaya dan karakter siswa adalah Bahasa Jawa. Dalam
konteks ini, harapan-harapan untuk implementasi filosofi Ki Hajar Dewantara
dalam pembelajaran Bahasa Jawa menjadi kunci dalam membangun jiwa dan karakter
siswa secara holistik.
Menggali Kearifan
Budaya Melalui Sastra Jawa
Penerapan filosofi
Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran Bahasa Jawa mengajak siswa untuk menggali
kekayaan budaya melalui sastra Jawa. Melalui pembacaan dan analisis karya
sastra Jawa klasik seperti Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan
Pakubuwana IV dan Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV,
siswa tidak hanya belajar tentang struktur bahasa, tetapi juga memahami
nilai-nilai budaya yang tercermin dalam karya-karya tersebut. Sehingga,
pembelajaran Bahasa Jawa tidak sekadar menjadi proses akademis, tetapi juga
menjadi wahana penanaman karakter dan moralitas yang kuat.
Pembelajaran
Berbasis Pengalaman
Konstruksi
pembelajaran yang menerapkan filosofi Ki Hajar Dewantara juga menekankan
pembelajaran berbasis pengalaman. Guru Bahasa Jawa dapat mengundang tokoh
masyarakat atau seniman lokal untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka
tentang budaya Jawa. Selain itu, kegiatan kunjungan ke tempat-tempat bersejarah
atau partisipasi dalam kegiatan seni tradisional juga menjadi bagian penting
dalam pembelajaran Bahasa Jawa. Harapannya, siswa tidak hanya belajar tentang
Bahasa Jawa dari buku teks, tetapi juga merasakan kehidupan dan kebudayaan Jawa
secara langsung.
Pengembangan
Kreativitas Melalui Karya Tulis
Filosofi Ki Hajar
Dewantara menekankan pentingnya pengembangan kreativitas setiap individu. Dalam
pembelajaran Bahasa Jawa, siswa didorong untuk mengekspresikan ide dan
pengalaman mereka melalui berbagai bentuk karya tulis. Guru memberikan dukungan
dan bimbingan dalam proses penciptaan karya tulis, sehingga siswa dapat
mengembangkan keterampilan menulis mereka sekaligus mengekspresikan ide dan
nilai-nilai yang mereka yakini.
Melalui implementasi filosofi Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran Bahasa Jawa, pendidikan tidak hanya menjadi proses akademis, tetapi juga menjadi wahana untuk membangun jiwa dan karakter siswa. Dengan menggali kekayaan budaya melalui sastra Jawa, memberikan pengalaman langsung tentang budaya Jawa, dan mengembangkan kreativitas melalui karya tulis, pembelajaran Bahasa Jawa menjadi lebih berarti dan relevan bagi siswa. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi mahir dalam berbahasa Jawa, tetapi juga memiliki jiwa yang kuat, penuh dengan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. (*)
No comments:
Post a Comment