Suara lantunan lagu “Pelajar Pancasila” Kamis itu menyambut kedatangan Ari di sekolahnya. Seperti anak-anak yang lain, ia berangkat sekolah diantar oleh ibunya. Setelah mengantarnya, ibu Ari kemudian menuju tempat kerjanya yaitu di sebuah restoran masakan Cina.
“Bu, aku masuk sekolah dulu,” pamit Ari pada ibunya.
“Iya Nak, belajar yang giat ya?” jawab ibu Ari sambil menggenggam dan mengangkat tangan kanannya tanda memberi semangat kepada Ari.
“Ok,” teriak Ari sambil berlari menuju ke gerbang sekolahnya.
Ari yang sekarang duduk di kelas 9 merupakan anak yang cerdas dibandingkan dengan teman-temannya. Cita-citanya untuk
menjadi seorang polisi membuatnya sadar bahwa
dia harus berdisiplin sejak dini.
Waktu itu jam masih menunjukkan pukul 06.20. Kurang 10 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sembari menunggu bel berbunyi,
ia menyempatkan untuk membaca novel. Di
tengah riuh teman-temannya yang sedang asyik mengobrol, Ari tetap fokus pada
novel yang dibacanya.
“Serius banget Ri, kamu membaca novelnya?” tegur Amel membuyarkan konsentrasi Ari.
“Iya, ini ceritanya lagi seru-serunya,” jelas Ari.
“Memangnya ceritanya tentang apa Ri?” tanya Amel penasaran.
Thet...thet...thet... Suara bel masuk telah berbunyi.
“Nanti kalau mau tahu ceritanya, aku ceritakan di gazebo sekolah depan perpustakaan saat istirahat.”
“Ok, aku tunggu nanti kamu di sana,” janji Amel pada Ari.
Seperti hari-hari biasanya, setelah bel masuk, Ari lalu
berdoa bersama dengan teman-temannya, melakukan
pembiasaan mengaji Juz Amma, dan kemudian masuk pelajaran jam
pertama. Saat itu, jadwal pelajaran yang pertama adalah
mata pelajaran IPA.
Ari tertarik dengan materi yang diberikan oleh
gurunya mengenai bioteknologi. Ketertarikan tersebut membawanya larut
dalam pelajaran yang menurutnya asyik itu.
“Ri, mana janjimu tentang cerita novel yang sudah kamu baca tadi pagi?” tagih Amel kepada Ari.
“Iya, tenang, aku masih ingat kok. Tapi aku punya syarat untukmu sebelum aku bercerita.”
“Wadhuh, kok kayak pendongeng profesional
saja pakai syarat- syarat segala,” jawab Amel sembari
cemberut.
“Ya terserah sih mau apa nggak. Kalau nggak mau ya aku nggak mau cerita,” tegas Ari pada Amel.
“Ok, ok, apa syaratnya?” Amel mencari tahu tentang syarat
dari Ari.
“Aku mau kita bersama-sama membuat tempe seperti yang sudah dijelaskan Bu Dwi tadi pagi mengenai materi
bioteknologi.”
“Gimana? Kamu setuju?” tanya Ari pada
Amel.
“Kamu tidak pernah dengar berita ya? Sekarang kan harga kedelai mahal. Indonesia dengan segala kekayaan alam seperti
ini saja harus impor kedelai. Padahal kalau
dilogika kedelai Indonesia harusnya cukup untuk para pengrajin
tempe. Lha nanti apa tidak mubadzir misalkan kita sudah beli
kedelai mahal-mahal, dipraktikkan membuat tempe malah gagal. Mending ya
gampang saja langsung beli tempenya.”
“Angel wis angel pemikiran kamu seperti itu. Tadi waktu di
kelas aku sangat tertarik dengan video yang
memperlihatkan tata cara membuat tempe. Ayolah Mel, masa hanya
aku yang harus menjawab penasaran kamu mengenai cerita novel
yang kubaca? Masa kamu nggak mau menuruti permintaanku?” rayu
Ari pada Amel.
“Yaelah.. dasar bocah kok seneng eksperimen saja. Iya, besok sore kita buat tempe di rumahku.”
“Ye, ye, ye, gitu dong sahabat yang baik harus selalu menyenangkan sahabatnya,” ucap Ari sambil mengacungkan jempolnya.
Setelah Amel menyepakati permintaan dari Ari, Ari kemudian menceritakan tentang novel yang sudah dibacanya kepada Amel.
Hal ini tidak hanya berlangsung waktu itu
saja. Sudah menjadi kebiasaan Amel untuk menagih cerita dari novel
yang dibaca oleh Ari. Mereka berdua memang sahabat dekat.
Pukul 14.30 tanda pembelajaran telah berakhir. Saat itu Ari
tidak langsung pulang. Ia ada jadwal untuk
latihan ekstrakurikuler Paskibraka. Melalui ekstrakurikuler itu,
ia berharap bisa berprestasi dan membuat bangga kedua orang tuanya. Saat pulang sekolah, Ari secara tidak sengaja mendengar ayah dan ibunya bertengkar.
“Mas, aku minta uang untuk sekolahnya Ari,” minta ibu Ari kepada suaminya.
“Bukannya jatah bulanan sudah kuberikan sejak awal bulan
lalu. Masa sekarang sudah habis?”
“Ya sudah habis Mas, uang darimu kan hanya lima ratus ribu. Untuk makan sehari-hari kita saja tidak cukup.”
“Sudahlah, jadi istri mbok ya yang hemat. Aku sudah pusing dengan kerjaanku, ditambah lagi masalah di rumah seperti ini.
Lama-lama bisa pecah kepalaku.”
“Sekarang apa-apa mahal Mas. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga memengaruhi harga bahan-bahan pokok. Beras, minyak, telur, bahkan hingga tempe saja mahal. Masa
uang gajimu sudah habis? Kalau seperti ini
aku sudah tidak tahan lagi Mas. Makan hati, setiap hari makan hati!”
“Terserah kamu. Pokoknya aku sudah tidak ada uang lagi untukmu!” jawab ayah Ari sambil berlalu ke luar rumah.
Sudah menjadi kebiasaan kedua orang tua Ari bertengkar dari mulai hal yang remeh hingga rumit. Mendengar pertengkaran seperti itu menjadi makanan Ari sehari-harinya. Bahkan pada suatu
ketika, ibunda Ari sempat bilang kepada Ari
bahwa dia ingin berpisah dengan ayah Ari.
Namun karena melihat Ari dan adiknya yang masih kecil, ibu Ari memutuskan untuk tetap bertahan. Bu Linda yang merupakan wali kelas Ari di kelas delapan sudah mengetahui mengenai permasalahan Ari dan keluarganya. Bahkan pada saat ada kesempatan di sekolah, Bu Linda bertanya kepada
Ari mengenai kabar terbaru dari kedua orang
tuanya.
“Ri, bagaimana kabar ayah dan ibumu?” tanya Bu Linda sebagai tanda perhatiannya kepada Ari.
“Ini Bu, orang tua saya tidak jadi bercerai. Kapan hari ibu
sempat ingin bekerja sebagai WNI, sudah sempat
masuk tempat penampungan, namun tidak jadi berangkat Bu.
Ayah tidak memperbolehkan ibu berangkat.”
“Syukurlah kalau orang tuamu tidak jadi bercerai. Jangan lupa untuk selalu mendoakan ayah dan ibumu agar tetap bersama,
rukun, dan bahagia.”
“Bahagia apanya Bu? Malah menurut saya lebih baik ibu dan ayah saya bercerai saja,” cerita Ari pada gurunya sembari matanya berkaca-kaca.
“Loh, kok kamu berpikiran begitu Nak?” tanya Bu Linda kaget.
“Iya Bu, setiap hari orang tua saya bertengkar. Pusing saya mendengar suara mereka ribut terus setiap hari,”
Ari tak mampu membendung air matanya yang
terus-menerus berjatuhan. Bu Linda hanya terdiam, dia sudah tak
mampu berkata apapun. Dalam batinnya ia kasihan kepada Ari.
Anak seumuran Ari sudah harus memikul beban seberat ini. Ari
terus terisak di depan gurunya.
Keesekon harinya, Ari dan Amel mempraktikkan video pembelajaran IPA tentang tata cara membuat tempe yang sudah mereka dapatkan di sekolah. Ibunda Amel sudah akrab dengan
Ari. Saat mengetahui Ari dan Amel akan
praktik membuat tempe, dengan senang hati ibunda Amel mengizinkannya.
Ibunda Amel senang karena Ari dan Amel mau mempelajari dan
mempraktikkan tata cara membuat makanan sehat yang sederhana
seperti tempe. Bahkan saat itu, ibunda Amel sudah membantu untuk
merendam kedelai dan mempersiapkan alat dan bahan dalam
membuat tempe. Sambil membuat tempe, Ari dan Amel asyik
mengobrol di dapur.
“Ri, gimana cerita novel yang kamu baca kapan hari?” tanya Amel sambil menyiapkan panci untuk mengukus kedelai yang sebelumnya sudah direndam.
“Novel yang aku baca kemarin itu menceritakan tentang satpam kompleks perumahan mewah yang setiap hari menunggu gerbang rumah majikannya,” Ari menceritakan novel yang dibacanya
sambil menunggu kedelai yang dikukus Amel
menjadi dingin.
“Lalu apa spesialnya? Satpam kan memang sudah biasa menunggu pintu gerbang tuan rumahnya, membukakan pintu gerbang, menyambut kalau ada tamu yang masuk, ya kira-kira begitulah,” potong Amel saat Ari bercerita.
“Jangan dipotong dulu! Masalahnya, satpam ini tidak pernah menjumpai majikannya masuk dan keluar rumah melewati pintu gerbang yang dijaganya. Tidak pernah ada satu pun tamu yang menuju rumah tersebut. Gerbang rumah itu hanya dilewati oleh
para pekerja di rumah itu,” lanjut Ari.
“Ya kan biasanya rumah mewah hanya ditunggui pembantu. Yang punya rumah bekerja di luar kota bahkan luar negri
sehingga jarang ada di rumah.”
“Iya, tapi masalahnya ini setiap hari majikannya pulang. Ada
di rumah. Satpam perumahan itu juga
penasaran, majikannya lewat mana saat masuk dan keluar rumah
tersebut. Satpam tersebut sempat menduga kalau majikannya lewat
pintu belakang, tapi pintu tersebut jarang terbuka. Jadi tidak
mungkin majikannya melewati pintu belakang atau pintu-pintu lainnya.
Bahkan suatu ketika, satpam tersebut melihat majikannya dengan cepat
berpindah tempat. Majikannya yang awalnya berada di lantai
dua, tiba-tiba sekejap mata sudah berada di halaman,” cerita Ari
sambil mengipasi kedelai yang sudah hampir dingin.
“Lalu gimana Ri lanjutan ceritanya?” tanya Amel dengan penasaran.
“Sudah, ceritanya besok-besok lagi. Lama-lama kok kamu
seperti pak Satpam yang penasaran tadi he.. he
.. he,” ejek Ari kepada Amel.
“Yaelah.. padahal lagi seru-serunya ceritanya. Ya sudah gak
apa-apa. Kutunggu besok-besok lagi ceritamu. Ini kedelainya sudah dingin Ri. Lalu tahap selanjutnya apa?”
“Selanjutnya ayo kita taburi kedelai yang sudah dingin ini
dengan ragi lalu kita bungkus!” jelas Ari.
Setelah mereka selesai membungkus bakal calon tempenya, Ari pamit pulang. Lagi-lagi ketika sampai di rumah, Ari mendapati
kedua orang tuanya kembali bertengkar. Saat
itu, Ari sudah tidak bisa membendung lagi hasratnya untuk
menyampaikan suatu hal yang sudah lama dipendamnya kepada kedua
orang tuanya.
“Sudah cukup Yah, Bu, bertengkarnya sudah cukup! Aku lelah, aku capek mendengar kalian bertengkar,” teriak Ari pada ayah
dan ibunya sambil menangis.
Seketika, rumah kecil keluarga Ari menjadi hening. Hanya terdengar isak tangis Ari diiringi detik jam dinding yang
menjadi saksi kebisuan ayah dan ibu Ari. Ayah dan ibu
Ari tertegun melihat reaksi dari Ari yang seperti itu. Mereka tidak
pernah mendapati Ari seperti itu sebelumnya. Ari yang biasanya di
depan orang tuanya terlihat baik-baik saja nyatanya menyimpan duka
dan luka.
“Ayah dan ibu setiap hari bertengkar. Apa tidak lelah? Aku sekolah, menyibukkan diri membaca novel, mengikuti kegiatan ekstra, mempraktikkan pembelajaran yang kudapat, semuanya aku lalui supaya lupa dengan masalah kalian. Tapi begitu pulang,
rumah ini rasanya seperti neraka. Tidak pernah
ada canda tawa, yang adahanya teriakkan pertengkaran kalian,” protes keras Ari
kepada orang tuanya.
“Maafkan kami Nak, maafkan kami,” ucap ibu Ari sambil menangis mendekap tubuh Ari erat-erat.
Hanya kedua kata tersebut yang terucap dari bibir ayah dan
ibu Ari. Mereka merasa bersalah kepada Ari.
Semenjak saat itu orang tua Ari berpikir. Mereka pada akhirnya sadar
bahwa apa yang mereka perbuatan hanya menggoreskan luka pada
hati Ari.
Mereka belum memutuskan apa yang selanjutnya akan
mereka lakukan, hanya saja mereka adalah orang tua yang sama-sama
ingin melihat kebahagiaan pada diri anaknya. Kebahagiaan seperti
yang dirasakan oleh teman- teman Ari pada umumnya. (tamat)
No comments:
Post a Comment