Filsafat adalah pemikiran yang berkaitan dengan kepercayaan manusia terhadap kehidupan di dunia ini, terutama yang berkaitan dengan tujuan hidup, kebenaran, kebajikan, dan Tuhan (pusat kehidupan). Diketahui di dunia bahwa ada dua kelompok filosofis: barat (maksudnya Eropa sekitar) dan timur (yang terdiri atas India, Cina dan sekitarnya). Filsafat Barat lebih mengutamakan nalar atau rasio, sedangkan Filsafat Timur lebih mengutamakan olah rasa.
Orang Jawa sebagai bagian dari bangsa Ketimuran memiliki pandangan hidup yang disebut filsafat Jawa. Sejak
jaman dahulu, sebelum masuknya agama apapun, banyak yang terlebih dahulu mencari jati
diri yang terkenal dengan kepercayaan mereka pada animisme dan dinamisme. Kemudian datang pengaruh India dengan Hindu dan
Budha yang memasuki pulau Jawa.
Selain itu, ada budaya Islam yang dibawa oleh orang Arab,
serta Katolik dan Kristen Protestan yang dibawa oleh bangsa Eropa. Menurut Herusatoto (1983: 111) dikemukakan bahwa
falsafah kehidupan masyarakat Jawa terjadi karena perkembangan budaya Jawa yang menyatukan falsafah
Hindu dan falsafah Islam. Tradisi Jawa, kepercayaan Hindu, tasawuf atau mistisisme Islam, dan Islam menyatu dengan dunia
pemikiran Jawa atau filsafat Jawa.
Hakikatnya filosofi Jawa adalah keberadaan pemikiran yang mengarah
pada keselamatan dan harmoni. Semua pemikiran ini berfokus pada ngelmu
kasampurnan atau ilmu kesempurnaan. Anda bisa melihat keberadaan Serat Dewa Ruci karya Raden Ngabehi
Yasadipura I yang menggambarkan ilmu sangkan paraning dumadi sebagai perwujudan atau istilah lain
dari ilmu kesempurnaan.
Masyarakat Jawa sangat dekat dengan ilmu kesempurnaan, tidak hanya
melalui penulisan kembali karya sastra tetapi juga diadakan dalam pertunjukan wayang kulit atau pakeliran dengan lakon Dewa
Ruci. Dalam peran Dewa Ruci ada tokoh Bima yang berguru kepada Pendeta Drona mencari ilmu
kesempurnaan. Bima yang memiliki ketekunan kemudian dapat mencapai ilmu
kesempurnaan yang diturunkan Dewa Ruci di tengah lautan. Pendapat yang sama adalah pendapat Kusbandrijo (dalam
Setyodarmodjo, lkk, 2007: 13) bahwa filsafat Jawa juga menekankan pentingnya
kesempurnaan hidup.
Mempraktekkan filosofi Jawa untuk budaya Jawa berarti
mengejar kesempurnaan. Sehingga bisa dilakukan dengan amalan jiwa dan raga.
Kusbandrijo (dalam Setyodarmodjo, lkk, 2007: 14) menguraikan pembagian filsafat
Jawa menjadi tiga bagian yaitu metafisika, epistemologi, dan etika.
- Metafisika Jawa
memiliki poin-poin sebagai berikut: mengakui otoritas Tuhan, transendensi Tuhan
di dunia dan manusia, dan dunia dan manusia sebagai bentuk persatuan yang
disebut makrokosmos dan mikrokosmos.
- Epistemologi Jawa adalah bagaimana mencapai tahap ekstase
untuk mencapai tahap widya.
- Etika Jawa adalah kehadiran keburukan dan kebaikan
yang memberdayakan perilaku manusia dalam hubungannya dengan hadirat Tuhan.
Dalam kaidah etika Jawa merupakan pembahasan yang lebih
bersifat khas tentang karakter tentang bagaimana orang Jawa berpikir dan bertindak.
Bagi masyarakat Jawa juga memiliki poin tertentu untuk menentukan sifat dari
perilaku baik dan buruk. Terlihat bahwa kearifan para ahli tidak selalu sama di
setiap tempat. Budi pakerti terdiri dari dua kata yaitu budi dan pakerti.
Budi artinya akal atau pikiran (Poerwadarminta, 1939: 158),
sedangkan pakerti artinya perbuatan atau kerja (Poerwadarminta, 1939: 1422).
Menurut Santosa (2012: 19) karakter adalah tingkah laku, akhlak, atau akhlak.
Kata budi artinya bila dikaitkan dengan masyarakat Jawa adalah semua budi pekerti, watak, atau akhlak yang menjadi inti dari
masyarakat adat yang tinggal di pulau Jawa.
Pemikiran tentang moral atau pergaulan masyarakat Jawa
terkait dengan falsafah atau kehidupan masyarakat Jawa dapat dikelompokkan
dalam empat pemikiran. Menurut Santosa (2012: 19) kehidupan masyarakat Jawa empat bertemu.
- kolektivisme (kebersamaan)
- spiritualisme (spiritual)
- kemanusiaan
- relativisme (tidak wajib)
Tiga kolektivisme, spiritual, dan aksi kemanusiaan bisa
dilihat dari perilaku dan tradisi orang Jawa seperti adanya tradisi orang mati dan
rukun tetangga (RT). Pengamat relativisme dapat dilihat dari kenyataan bahwa bener
durung methi pener, salah durung mesthi kalah, lan becik bisa kuwalik yang maksudnya suatu kebenaran tidak selalu benar bila
digunakan dalam konteks atau situasi lain. (*)
No comments:
Post a Comment