Pergelaran wayang kulit selain mengandung unsur pergelaran juga mengandung struktur pergelaran. Jika sebuah unsur pergelaran adalah sebuah unsur pembangun yang bersifat dapat dilihat dan didengar, sedangkan struktur pergelaran merupakan kerangka pergelaran wayang kulit berupa tatanan dari awal sampai akhir dengan memperhatikan pakem pedalangan. Sebuah pergelaran wayang kulit yang memperhatikan pakem akan terdiri dari lima belas bagian yang berurutan. Struktur pergelaran wayang kulit secara terperinci seperti berikut ini.
TALU
Struktur pergelaran wayang kulit paling awal adalah talu. Struktur pergelaran wayang ini
juga disebut awalan atau pembukaan. Sastroamidjojo (1964: 97) mengatakan, talu
merupakan bagian awal dari pergelaran wayang yang diiringi dengan gendhing cucur bawuk laras pathet 6 yang berganti ke manyura. Gendhing-gendhing pengiring talu secara
terperinci sebagai berikut, (a) Cucur
Bawuk, (b) Pare Anom, (c) Ladrang Sri Katon, (d) Ketawang Sukma Ilang, (e) Ayak-Ayakan Manyura, (f) Slepegan Manyura, dan (g) Sampak Manyura.
Semua gendhing
pengiring pada bagian talu ini mempunyai makna simbolik, sehingga tidak
sembarangan ditentukan begitu saja. Sastroamidjojo (1964: 179) mengatakan,
semua gendhing tersebut menggambarkan
kehidupan manusia dalam dunia ini.
- Gendhing Cucur
Bawuk merupakan penggambaran manusia ketika masih berupa biji. Sebelum
menjadi pembuahan manusia masih berupa sel laki-laki (mani) dan sel perempuan
(telur). Dalam arti bahasa cucur itu
merupakan kue atau jajanan tradisional Jawa dan bawuk merupakan alat kelamin seorang perempuan.
- Gendhing Pare
Anom ini melambangkan kehidupan manusia ketika masih bayi atau kecil. Kata pare mempunyai arti nama sebuah tumbuhan
sedangkan anom merupakan usia muda.
- Gendhing Ladrang
Srikaton menunjukkan suatu keadaan yang nyata. Gendhing ini menggambarkan keadaan manusia yang sudah akil balig.
(d) Gendhing Ketawang Sukma Ilang
secara sepintas berati tidak bersukma lagi. Gendhing
ini melukiskan masa temaja seseorang.
- Gendhing Ayak-ayakan
Manyura ini melambangkan kehidupan manusia ketika sudah dewasa. Kata ayak berarti nyiru yang maksudnya adalah
segala sesuatu termasuk sikap orang dewasa itu sudah terpilih dan ditimbang
dengan matang. Kata manyura merupakan waktu yang sudah hampir berakhir.
Sehingga ketika dua kata itu digabungkan maka berarti suatu kehidupan bagi
manusia yang sudah mapan dan mendekati akhirnya.
- Gendhing Slepegan
Manyura merupakan perwujudan manusia yang sudah berumur tua. Slepegan
merupakan waktu yang sudah tidak cukup lagi atau sudah mendesak. Sehingga masa
ini sudah menunjukkan betapa sempitnya kehidupan manusia di dunia ini.
- Gendhing Sampak
Manyura merupakan gendhing terakhir dalam bagian talu ini. Makna yang
terkandung dalam gendhing ini adalah
waktu yang sudah berakhir. Sampak berati bersama, sehingga pada keadaan ini
merupakan bertemunya semua sukma mereka yang sudah meninggal. Manusia yang
sudah meninggal akan menuju alam baka yang di situ menunjukkan tersebarnya
seluruh sukma orang-orang yang sudah meninggal.
PANGGUNGAN
Struktur pergelaran kedua dalam pergelran wayang kulit adalah
panggungan. Sastroamidjojo (1964: 180)
mengatakan, panggungan ini merupakan
bagian dari struktur pergelaran wayang kulit ketika dalang sudah memasuki tempat
pergelaran atau panggung. Seorang dalang ketika memasuki panggung dengan
mengucap mantra atau doa. Dalang selanjutnya akan memberikan tanda bahwa
pergelaran wayang akan segera dimulai kepada para pengrawit, pesindhen,
termasuk penonton.
MENGGERAKKAN KAYON
Ketika gendhing
Sampak Manyura mulai sirep, dalang akan mencabut kayon dan menggerakkannya.
Sastroamidjojo (1964: 181) mengatakan, pergerakan kayon ini merupakan proses
penjelmaan manusia ke dunia ini. Sebelum dijabut (bedhol) posisi kayon akan tertancap di tengah kelit dan tegak itu
menandakan suatu hal yang tetap. Gambaran ini menunjukkan suatu keadaan yang
tenang sebelum manusia dihidupkan di dunia.
Adegan Bedhol Kayon |
Dalang akan menggerakkan kayon dengan bergelombang, yaitu
tiga kali naik dan turun. Gerakan ini juga melambangkan kondisi dalam fase
kehidupan manusia. Sastroamidjojo (1964: 181) mengatakan, gelombang kayon itu
melambangkan penjelmaan manusia dengan kuasa Tuhan, gelombang pertama merupakan
hidup sang ayah, gelombang kedua merupakan hidup sang ibu, dan gelombang ketiga
merupakan hidup anak di dunia fana.
JANTURAN
Janturan merupakan adegan dimana seorang raja dihadap oleh
beberapa punggawa kerajaan untuk membahas situasi kerajaan dan merencanakan
sesuatu untuk ke depannya. Adegan ini dibuka dengan dalang mempersiapkan dua bedayan putri yang muncul di paseban
kerajaan dan mengaturkan sembah kepada rajanya. Hal itu disusul dengan
datangnya para punggawa kerajaan yang lain. Maka adegan ini juga disebut jejeran.
Adegan Jejeran Wayang Kulit |
Ketika adegan janturan ini dilakukan, dalang akan mengucapkan
suatu perkataan yang menggunakan bahasa sastra. Penggunaan istilah bahasa
sastra ini karena kalau dipahami memang bukan bahasa sehari-hari. Menurut
Sastroamidjojo (1964: 184), janturan
disebut juga sastra pinathok yaitu suatu
uraian yang sudah pasti yang bisa diperdengarkan di gereja ketika dilaksanakan
kebaktian. Begitu tinggi kedudukan janturan ini, sehingga disandingkan dengan
doa dalam acara keagamaan. Sehingga ucapan janturan ini pada setiap pergelaran
wayang akan sama.
KEDHATONAN
Adegan kedhatonan
ini merupakan struktur pergelaran wayang kulit yang menunjukkan seorang raja
ketika selesai bermusyawarah di sitinggil
bersama punggawa kerajaan dan kembali ke dalam kedhaton. Menurut Sastroamidjojo (1964: 191), adegan kedhatonan ini
akan menumbuhkan rasa percintaan. Rasa tersebut tumbuh sebagai rasa
keseimbangan pada diri seorang raja. Sorang pemimpin itu harus bersifat adil
dan bisa menempatkan diri sesuai kedudukan. Ketika dia sebagai raja harus
mengabdikan diri kepada pengikutnya, sedangkan di saat menjadi suami dia harus
bisa memberikan nafkah untuk keluarganya.
PASEBAN JAWI
Adegan ini mengambil nama sebuah tempat dalam sebuah pola
bangunan keraton. Paseban jawi dalam
pola bangungan keraton juga disebut penangkilan.
Dalam adegan ini para petinggi kerajaan yang sudah ikut bermusyawarah pada saat
janturan, maka akan menyusun siasat
untuk melancarkan rencana yang sudah disepakati. Menurut Sastroamidjojo (1964: 193),
agedan ini melambangka suatu keadaan ketika menjelang bayi lahir. Orang tua
akan mempersiapkan dengan sepenuh hati, walaupun sulit dan berat akan ditempuh.
Adegan Paseban Jawi |
JEJER SABRANGAN
Jejer sabrangan merupakan wujud penyeimbang dari lakon
pergelaran wayang yang dipertunjukkan. Ketika ada tokoh tanah Jawa sebagai
pusat cerita, maka ada tokoh dari tanah
sabrang yang menentang. Penentangan ini terjadi karena sikap kedua belah
pihak ini berlawanan. Menurut Sastroamidjojo (1964: 193), tanah sabrang yang digambarkan ini belum jelas kedudukannya, misal
daerah di luar Jawa atau Indonesia. Persaingan antara raja sabrang dengan raja
tanah Jawa merupakan wujud pergolakan dalam tubuh manusia, yaitu kebaikan dan
keburukan selalu berkecamuk.
PERANG GAGAL
Adegan perang gagal
terjadi antara pasukan dari tanah Jawa yang bertemu dengan pasukan tanah sabrang. Kedua pasukan ini
bertarung untuk mempertahankan pendapat atau pendirian masing-masing. Pihak
raja tanah Jawa merupakan perlambang dari kebaikan, sedangkan pihak raja tanah sabrang merupakan perlambang
keburukan. Menurut Sastroamidjojo (1964: 195), dalam hidup manusia perang gagal ini menunjukkan suatu
kehidupan remaja yang mendapatkan rintangan yang tidak terduga. Semua itu bisa
dilalui dengan baik jika seseorang memiliki keteguhan hati.
Adegan Perang Gagal |
GARA-GARA
Nama adegan ini adalah gara-gara,
sehingga sudah nampak arti dari kata tersebut. Gara-gara berarti masalah, bisa juga merupakan ujian dalam
kehidupan. Tidak semua masalah itu bisa diselesikan oleh diri sendiri dan
membuat diri menjadi bingung. Sastroamidjojo (1964: 195) menggambarkan keadaan
ini dengan kata pepetenging ati dan ambebilung.
Adegan Gara-gara |
SATRIA MENGHADAP PANDHITA
Semua ujian dalam hidup itu ketika tidak bisa diselesaikan
sendiri, maka harus dimintakan tolong kepada orang lain untuk menyelesaikannya.
Orang yang bisa menyelesaikan permasalahan orang lain itu tidak sembarangan,
tentu ada kriteria misal pemuka agama. Pada zaman dahulu, mereka disebut pandhita yaitu seseorang yang orang yang
sudah menep pikire (tidak
mementingkan duniawi). Sastroamidjojo (1964: 195) mengatakan, pandhita merupakan perlambang sebuah
kedudukan guru bagi bangsa Ketimuran yang memberikan petunjuk ke arah
kesempurnaan hidup. Dalam adegan ini seorang satria diiringi oleh panakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong) yang melambangkan kejujuran satria dalam mencapai tujuan dan didasari
kesusilaan, kesabaran, dan kebulatan tekad tanpa kejahatan.
PERANG KEMBANG
Perang kembang ini merupakan adegan yang ditunjukkan
dengan peperangan antara satria dengan raksasan. Dalam pergelaran wayang,
raksasa sebagai musuh satria bejumlah empat. Sastroamidjojo (1964: 196)
mengatakan, keempat raksasa itu melambangkan sifat buruk manusia yaitu malas,
loba, bengis, dan tidak berperikemanusiaan. Beberapa pergelaran wayang kulit
ada yang menunjukkan kalau yang menghadang jalannya satria itu adalah
penjelmaan dari dewa dan akhirnya memberikan anugerah kepada satria tersebut.
Adegan Perang Kembang |
JEJER SESINTREN
Jejer Sesintren merupakan adegan jejer yang terakhir
dalam pergelaran wayang kulit. Adegan ini merupakan bentuk penjelasan atau
pokok dari kehidupan. menurut Sastroamidjojo (1964: 197), adegan ini merupakan
bentuk penegasan dari hidup manusia, yaitu manusia akan selalu diuji atas
kekuatan, keteguhan, kejujuran, dan keuletan. Tentu saja semua itu tidak
berjalan dengan mudah, namun apabila bisa melalui akan tinggi derajadnya.
ADEGAN TERAKHIR
Nama yang diberikan pada adegan ini merupakan hal apa adanya,
yaitu adegan terakhir. Memang dalam adegan ini pergelaran wayang sudah mencapai
anti-klimaks dan memberikan suatu kepuasan. Pada pertunjukan wayang suatu
kepuasan itu akan muncul ketika tokoh baik bisa mengalahkan tokoh yang buruk. Sastroamidjojo
(1964: 199) mengatakan, adegan ini merupakan penggambaran hidup manusia yang
sudah menjelang ajal atau kematian. Di akhir kehidupan manusia tidak ada hal
yang paling diinginkan kecuali kepuasan atau kebahagiaan karena sudah bisa
menuntaskan segala kewajiban di dunia ini.
Adegan Perang Brubuh |
TANCEP KAYON
Adegan ini ditandai dengan dalang menancapkan kayon pada
tempat dan kedudukan semula. Hal ini menunjukkan bahwa berakhirnya pergelaran
wayang kulit dan semua kembali pada keadaan awal. Menurut Sastroamidjojo (1964: 199), adegan ini melambangkan ajaran Ngelmu
Kejawen yaitu sangkan paraning dumadi.
Manusia awal kehidupannya berasal dari Tuhan, hidup di dunia untuk melaksanakan
tugas dari Tuhan atau beribadah, dan akhirnya nanti akan kembali kepada
Tuhannya.
Adegan Tancep Kayon |
WAYANG GOLEK
Pada mulanya pergelaran wayang kulit diakhiri dengan pergelaran wayang golek, yaitu dengan memainkan boneka dari kayu. Adegan ini merupakan sebuah pasemon. yaitu berasal dari kata golek dalam bahasa Jawa yang berarti cari. Maka dengan disajikan pergelaran wayang golek ini, dalang mempunyai maksud yang tersembunyi atau tersirat yaitu para penonton diharapkan bisa mencari isi pergelaran wayang kulit yang sudah disajikan. Sastroamidjojo (1964: 199) mengatakan, arti wayang golek ini adalah seruan golekana yang berarti carilah dengan mendalam isi serita wayang kulit yang baru diakhiri atau ringkasnya adalah renungkanlah. Penonton ketika selesai melihat pergelaran wayang kulit diharapkan bisa mencontoh hal baik dan meninggalkan hal yang buruk dalam pergelaran. (*)
No comments:
Post a Comment