Sudah menjadi hal lumrah jika ada siswa yang pandai atau berprestasi, yang ditanyakan adalah siapa orang tuanya, sedangkan jika ada anak yang kurang tertata akhlaknya, yang ditanyai adalah siapa gurunya. Guru seakan-akan menjadi salah satu pemegang tonggak tegaknya akhlak anak bangsa ini.
Termasuk dalam masa pandemi
yang terjadi sekarang ini. Adanya pandemi ini banyak mengubah tatanan kehidupan
termasuk dalam dunia pendidikan. Pembelajaran yang biasanya berlaku secara konvensional,
sekarang berbalik 360 derajat menjadi pembelajaran berbasis daring.
Sore hari menjelang matahari
terbenam, Lila teringat untuk mengunjungi anak didiknya yang tidak pernah
mengerjakan tugas daring. Suara jarum jam yang berdenting di kamar, menjadi teman
kesendiriannya memikirkan nasib putra didiknya yang tidak bisa mengenyam
pendidikan berbasis Daring dari gurunya di sekolah.
Memang, dia adalah seorang
guru rantauan yang berasal dari kota Jombang dan hidup secara mandiri menempati
rumah kos di daerah Babatan. Rumah kos yang biasanya ribut dengan hiruk pikuk
mahasiswi Unesa tersebut sekarang sepi sunyi karena pandemi.
“Pak Arif, ayo kita ke rumah
Dika!” ajak Bu Lila kepada guru BK yang menangani kelasnya.
“Loh Bu, ini sudah sore, di
luar jam kerja kita. Mengapa Anda mengajak saya tidak dari tadi pagi saja?” tanya
Pak Arif heran.
“Iya, sebelumnya saya minta
maaf Pak. Saya mendapat info dari Ari, tetangganya Dika yang juga sekolah di
sekolah kita, kalau Dika dan orang tuanya biasanya ada di rumah saat sore hari.
Mungkin karena kesibukan orang tua Dika bekerja” terang Bu Lila pada Pak Arif.
“Oalah, kalau seperti itu
keadaannya, saya siap Bu. Kita langsung ketemu di rumah Dika.”
Setelah mengalahkan rasa
ngantuk yang melandanya, Bu Lila langsung mengemudi sepeda motornya menuju ke
Sumur Welut, tempat tinggal Dika. Sesuai informasi dari Ari, memang sore hari
itu keadaan rumah Dika lengkap. Rumah sederhana dengan polesan cat tembok yang
hampir pudar itu menjadi saksi bisu sayangnya guru terhadap siswanya.
“Assalamualaikum Bu. Saya Bu Lila wali kelasnya Dika dan ini Pak Arif
selaku guru BK-nya,” Bu Lila
memperkenalkan dirinya kepada Ibu Dika.
“Waalaikumsalam Bu. Saya ini tadi mau nyapu,” jawab ibu Dika
dengan ketus sembari membersihkan lantainya dengan sapu.
Muncul rasa heran pada benak
Bu Lila. Memang Bu Lila masih jauh lebih muda dari ibu Dika. Bu Lila juga belum
menikah, belum berpengalaman dalam menjadi orang tua. Tapi dia paham kalau apa
yang dilakukan oleh orang tua Dika kurang pantas dilakukan. Setelah menunggu
ibu Dika selesai menyapu, barulah tikar tergelar dan percakapan antara guru dan
orang tua membahas peserta didik pun dimulai.
“Mohon maaf sebelumnya Bu,
Dika sudah lama tidak mengerjakan tugas Daring dari sekolah apa ada kendala?
Kapan hari dia saya whatshapp, saya
telpon, tetapi tidak ada balasan,” tanya Bu Lila penasaran.
“Ya memang ada kendala Mbak
di anak saya. Dia tidak punya HP dalam mengerjakan tugas. Terus bagaimana? Apa
saya harus tidak makan demi sekolah anak saya? Saya bekerja di pabrik plastik
sementara bapaknya Dika hanya sebagai cleaning
service,” jelas ibu
Dika.
“Dika ini anak ibu yang ke
berapa?” Pak Arif mencoba menelusuri keluarga Dika.
“Anak tunggal Pak. Tapi
tetap saja saya tidak mampu mencukupi kebutuhan HP Dika. Lebih baik uang kami
untuk kebutuhan sehari-hari yang mendesak.”
Merasa percapakan sore itu
tidak menemui titik temu, pada akhirnya Bu Lila dan Pak Arif mengalah. Mereka
menyarankan Dika untuk melaksanakan pembelajaran secara Luring (luar jaringan)
dengan cara Dika mengambil tugas di sekolah sekaligus mengembalikan tugas yang
dikerjakan pada hari Jumat.
Setelah Bu Lila dan Pak Arif
pulang dari rumah Dika, ayah Dika mencoba untuk berdiskusi dengan istrinya yang
memang sifat dasarnya hanya mau menang sendiri itu.
“Buk, awake dhewe ki sakjane rak bisa nukokne Dika HP ta?” tanya
ayah Dika yang mencoba untuk memfasilitasi sekolah putranya.
“Ora
bisa Pak. Arep nggo apa Pak? Sekolah Daring ngene ki mesthi mengko anake dhewe
lulus. Saiki lho bocahe wis kelas sanga, wis ta percayaa karo aku, mesthi Dika
ya bakale lulus.”
“Ora
lho Buk, sakjane sekolah kuwi ora mung mbutuhi luluse ta, bakune sing luwih
penting rak ngelmune?”
“Nggo
apa Pak ngelmu saiki? Deloken kae lho Pak anake Pak Karjo, sing jenenge Karti.
Karti kuwi awit cilik sekolahe juara terus. Sawise lulus SMA njur nerusne
kuliyah. Saiki mulang neng SMP swasta. Sampeyan weruh pira gajine? Gajine kuwi
lho Pak, sik kalah karo sampeyan sing mung dadi tukang resik-resik, sing mung
lulusan SMA.”
“Nanging
Buk, wong urip sing digoleki ora mung ngupaya bandha donya. Nebar ngelmu marang
sapepadha uga tumindak sing utama.”
“Halah
Pak, aku ki wis ora cocog karo pamikire sampeyan. Wong urip ya sing penting
bandha donya Pak. Buktine yen nduwe bandha donya ya diajeni wong akeh, beda
karo wong sekeng kaya awake dhewe ngene ki. Ora ana sing ngajeni.”
“Sejatine
Buk, ajine wong kuwi ora mung saka bandha donya sing diduweni. Tumindake awake
dhewe uga nemtokake wong bakal ngajeni awake dhewe apa ora. Awake dhewe ki dadi
wong tuwa kudu tanggung jawab nyukupi kabutuhane anak.”
“Ora
bisa Pak, aku luwih ngutamakne perawatan Pak. Aku ki isin yen disawang kanca-kancaku
sing saiki raine sing wis padha glowwing merga perawatan. Sampeyan bayangke, aku wis trima manggon
omah ing kene. Kahanane ciyut, nyandi-nyandi cedhak. Neng jedhing cedhak, neng
pawon cedhak, neng kamar cedhak. Masia kaya ora bisa unteg ya panggah
taktampa.”
“Tapi
panggah Buk, manut panemuku, Dika ki butuh hape kanggo sinaune saiki. Mbok
sampeyan sisihne dhuwite nggo tuku HP elek-elekan
kanggo Dika supaya dheweke bisa sinau, bisa maju kaya kanca-kancane. Perkara perawatan ora perlu sakjane merga aku ki wis nampa
sampeyan apa anane.”
“Wegah
pokoke Pak. Penting mengko Dika lulus oleh ijasah nerusne sekolah lan bisa
golek dhuwit rak ya cukup. Aku wis angkat tangan nek kon nukokne Dika HP.
Aku kesel Pak saben dina kerja, mulih sore-sore kok mung arep nyenengne awak
nganggo perawatan wae ora oleh.”
“Sampun
Pak, Bu, mboten sisah dilajengaken malih! Kula tampi menawi kedah sinau lumantar
Luring mawon,”
potong Dika karena sudah tidak tahan melihat
pertengkaran kedua orang tuanya.
“Ora
apa-apa tenan ta Le? Bapak ngrasa luput ora bisa nyukupi kabutuhanmu.”
“Inggih
Pak, mboten napa-napa. Kula nggih biasane saged sinau lumantar TV9 Pak. Wonten program
sinau kaliyan guru.”
“O..
yen kaya mangkono, sing sabar sik ya Le.”
“Inggih
Pak.”
Percakapan antara anak dan
orang tua tersebut ditutup oleh kerelaan hati seorang anak yang tidak menuntut
orang tuanya untuk memenuhi fasilitas belajarnya secara maksimal. Memang Dika
dan keluarganya merupakan keluarga dari kalangan tidak mampu. Ibu dan ayahnya
hanya lulusan SMA. Mereka hanya tinggal di rumah satu petak yang tempat antara
kasur, ruang tamu, ruang keluarga tidak bisa dibedakan.
Ibu Dika yang bekerja sebagai
karyawan pabrik dan ayahnya yang bekerja menjadi satpam sebenarnya hasilnya
cukup untuk membelikan Dika HP. Tetapi prioritas pemikiran Ibu Dika tidak untuk
kebutuhan sekolah melainkan untuk
penampilannya. Hal ini yang membuat Dika harus menerima keadaan. Dalam hatinya
tersimpan rasa iri kepada temannya.
Pada suatu sore secara tidak
sengaja Bu Lila berjumpa dengan Dika di daerah dekat sekolah. Dika membawa
merpati untuk diadu. Melihat wali kelasnya memergokinya, Dika merasa kaget.
“Dik, suka main merpati di
sini?” tanya Bu Lila.
“Iya Bu” jawab Dika
samar-samar karena takut.
“Uang itu kamu dapat dari
adu merpati?” Bu Lila mencari tahu
“Bu...Bu.. Bu... kan Bu. Ini
uang dari Ibu,” jawab Dika dengan terbata-bata.
“Sekolah itu bukan hanya
untuk mendapatkan kepandaian Dik, tapi ada hal yg lebih penting daripada itu.
Kamu tahu? Pembentukan karakter sangat penting untukmu. Kalau dari kecil kamu
berbohong maka akan menjadi hal biasa nantinya saat kamu dewasa” nasihat Bu
Lila.
“Iya Bu, saya jujur, saya
mengumpulkan uang agar bisa membeli HP untuk belajar secara daring. Saya kalau
sore hari begini adu merpati, sedangkan kalau pagi saya mengamen.”
“Tetapi Dik, coba sekarang
kamu pikirkan! Apa uang yang kamu dapat dengan cara seperti ini nantinya akan
membawa keberkahan untuk ilmumu? Segala sesuatu yang baik seharusnya juga
diupayakan dengan yang baik pula.”
“Iya Bu, saya janji tidak
akan mengulangi hal ini lagi.”
Bu Lila iba mendengar cerita
dari siswanya tersebut. Dia paham betapa sulitnya Dika menjalani pembelajaran
secara Daring ini. Dia memikul beban itu sendirian, tanpa bantuan dari kedua
orang tuanya.
Selang seminggu sejak
pertemuan Bu Lila dengan Dika tersebut, Bu Lila mendapatkan pesan whatsapp dari Dika. Terbesit dalam
pikiran Bu Lila kalau Dika sudah cukup uang untuk membeli HP.
“Selamat pagi Bu. Saya Dika
siswa kelas 9A. Saya mau memberitahukan kalau saya sudah bisa Bu melakukan
pembelajaran secara daring. Saya sudah punya HP.”
“Oalah.. Syukurlah kalau
begitu Dik. Lebih semangat lagi ya belajarnya?”
“Iya Bu.”
Bu Lila merasa beban
tanggung jawabnya untuk memikirkan Dika sekarang sudah mulai berkurang. Dia
tidak perlu lagi mengoordinir soal-soal maupun materi yang awalnya setiap minggu
harus diambil oleh Dika. Tetapi hal tersebut ternyata tidak berlangsung lama.
Suatu malam Bu Lila mendapat telepon dari kepolisian.
Dika yang selama ini
dipikirnya adalah anak yang baik, yang polos, tidak mau menyusahkan kedua orang
tuanya ternyata telah mengambil jalan pintas. HP yang dia gunakan selama ini
untuk pembelajaran Daring adalah hasilnya mencuri di warung kopi. Bu Lila
diminta untuk datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian kalau Dika
memang masih seorang pelajar.
“Dik, kenapa kamu melakukan
hal tidak terpuji seperti ini? Jujur saya kaget. Saya tidak menyangka kalau
kamu akan melakukan perbuatan ini,” Bu Lila menncoba mencari tahu
alasan Dika.
“Saya kepepet Buk. Setiap
hari saya harus mendengar orang tua saya yang bertengkar karena kebutuhan
sehari-hari. Teman-teman juga terus-terusan mengejek saya karena tidak punya
hp. Saya tidak kuat lagi,” jawab Dika diiringi dengan
isakan tangis.
“Tetap saja Dik, perbuatan
seperti ini tidak bisa dibenarkan. Kamu harus paham kalau ada hak orang lain
yang tidak bisa kamu ambil seenaknya.”
Di sela-sela Bu Lila
menanyai Dika, ibu dan ayah Dika pun datang dengan tergopoh-gopoh. Ayah Dika
dengan mata berkaca-kaca menatap wajah anaknya.
“Pak,
kaya ngene ki salahe sapa sakjane?” tanya ibu Dika kepada suaminya.
“Wis
Buk, sing salah awake dhewe. Dika ki sik cilik, anak polah bapa kepradhah.
Tingkah polahe anak bakal dadi tanggung jawab wong tuwane Buk.”
“Ya
emoh Pak. Iki mono ya salahe sampeyan. Sampeyan ora bisa nyukupi kabutuhanku
karo Dika. Kudune sampeyan rak bisa kerja sing luwih penak supaya ngasilake
dhuwit sing akeh. Eling, sampeyan ki kepala keluarga lho.”
“Iya
Buk, aku ya sadhar yen iki pancen luputku. Luputku dadi wong lanang ora bisa
nyukupi butuhe anak bojoku.”
“Sudah Pak, saya minta bapak
dan ibu menyudahi untuk beradu mulut di sini!” potong Polisi yang menangani
kasus Dika.
Dika yang terlalu sering melihat orang tuanya berselisih paham, waktu itu hanya bisa diam. Mulutnya seakan terkunci. Dia sudah angkat tangan menghadapi sikap kedua orang tuanya. Dika paham kalau perbuatannya ini akan membawa dampak besar pada dirinya. Orang tua yang seharusnya menjadi cerminan untuk dirinya, nyatanya cermin itu telah retak sebelum digunakan untuk berkaca. (*)
No comments:
Post a Comment