Pembahasan ini perlu dimulai dengan pemahaman mengenai cakupan etika Jawa. Kata etika berasal dari bahasa asing. Endraswara (2010: 33) mengatakan, etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani, yang artinya adat kebiasaan. Kata ethos selanjutnya dijadikan landasan oleh Aristoteles di dalam mengartikan kata etika yang mempunyai hubungan dengan moral yang berasal dari kata mores dalam bahasa Latin.
Pada
perkembangan selanjutnya kata etika dan moral itu dianggap mempunyai kedudukan
yang sama, yaitu mempunyai arti suatu adat kebiasaan. Menurut Suseno (2003: 6), etika mempunyai arti semua norma dan penilaian yang digunakan oleh
masyarakat tersebut untuk mengetahui bagaimana manusia itu harus menjalani
hidup.
Pada
hakikatnya, etika Jawa bisa disebut sebagai sistem moralitas atau keutamaan
Jawa (kepunyaan orang Jawa atau berwatak njawani). Etika Jawa yang disampaikan dalam pembahasan dibagi menjadi beberapa bagian
sesuai dengan peran masing-masing di dalam masyarakat. Pembahasan itu secara
detail sebagai berikut.
ETIKA JAWA UNTUK WONG NGALUHUR
Wong
ngaluhur adalah golongan masyarakat yang mempunyai strata sosial sekaligus
kelas sosial yang tinggi. Segala sikap yang dilakukan oleh wong ngaluhur itu akan menjadi sorotan masyarakat, bahkan bisa saja
menjadi contoh yang juga ditiru oleh masyarakat. Etika Jawa membahas kehidupan
wong ngaluhur sebagai suri tauladan, khususnya di dalam SWI ini. Karya sastra
ini menunjukkan posisi wong ngaluhur
itu dengan contoh seorang bangsawan atau negarawan. Petikan ini akan
memperjelas keterangan tersebut.
atur ulun ingkang wus kawijil
sayogya rinaos
dhuh gustiku wus ndungkap wektune
akil baleg wajibe ngawruhi
prakaraning nagri
paraboting hukum (WR. P.V.1)
murat maksude kudu ginalih
lan ngulama kaot
supaya trang ing galih tan cewet
tinimbanga lan adating nagri
ingkang wus linuri
leluhur pra ratu (WR. P.V.3)
kudu-kudu linalar linuri
luhuring kaprabon
sinuksmeng tyas priye bubukane
saking asor dadi luhur yekti
tinanyakna maring
para sepuh-sepuh (WR. P.V.3)
Golongan
sosial wong ngaluhur pada zaman
dahulu (pada Kerajaan Surakarta) terdiri dari pemimpin kerajaan, kesatria, dan
kaum bangsawan. Pencerminan wong ngaluhur
pada zaman sekarang adalah para pemimpin negara maupun daerah. Nasihat yang
ditujukan pada pemimpin dari dalam petikan itu, pemimpin menjalankan tugas
pemerintahan (berhubungan dengan ketatanegaraan dan hukum), belajar ilmu
kehidupan, dan memperhatikan pertimbangan para ahli di bidangnya. Semua
tanggung jawab tadi dilakukan dengan maksud untuk menciptakan pemerintahan yang
berwibawa dengan membangun citra yang baik dari sudut pandang rakyat dan mitra
kerja dari negara lain.
ETIKA JAWA UNTUK WONG CILIK
Wong
cilik merupakan golongan dari strata sosial dan kelas sosial yang rendah.
Strata sosial atau kelas sosial ini sering kali terlupakan karena pengaruhnya
dalam masyarakat kurang dirasakan. Walaupun demikian, etika Jawa juga tetap
membahas kewajiban-kewajiban wong cilik yang dibalut dengan norma-norma
masyarakat. SWI mempunyai beberapa bagian yang menunjukkan etika Jawa yang
harus dimiliki oleh wong cilik. Penggambaran dari keterangan itu dapat
diperhatikan dalam petikan ini.
kalosa kentaring toya (sarah)
jobin citra wijil Eropah nagri (marmer)
den merak ati ing tembung
sumarah ing sakarsa
marang gusti suling kukila kang muluk (sawangan)
arka kang munggeng wadana (tingal)
sawangen tingaling gusti (WPa. P.VII.3)
Wong cilik merupakan status sosial dan kelas sosial yang berada di bawah wong ngaluhur. Golongan ini juga
mempunyai etika atau kewajiban yang harus ditunaikan, yaitu mengabdi kepada
negara. Etika yang dapat digunakan untuk mengabdikan diri kepada negara adalah menyenangkan
hati dan menerima (merak ati dan sumarah) terhadap perintah pemimpin
negara. Etika ini akan melandasi sikap mengutamakan kepentingaan bersama
(kelompok atau negara) di atas kepentingan pribadi.
ETIKA JAWA UNTUK PARA PUTRI
Para
putri atau perempuan merupakan sosok yang berperan penting dalam kehidupan.
Walaupun peran para putri tidak kelihatan secara langsung, namun perannya
sebagai seorang istri yang mendukung kegiatan suami dan sebagai seorang ibu
yang membimbing putranya itu sangat vital. Para wanita bisa mementukan kebaikan
untuk suami dan putranya, sehingga para putri tidak boleh dipandang sebelah
mata. Dalam kehidupan bermasyarakat, etika Jawa juga membalut peranan para
putri supaya tidak keluar dari peran yang baik. SWI ini banyak membahas etika
Jawa untuk para putri, petikan ini sebagai contoh.
lawan ana kojah ingsun
saking eyangira swargi
pawestri elinga sira
lamun ginawan dariji
lelima puniku ana
dununge sawiji-wiji (SDd. P.I.11)
jejempol ingkang rumuhun
panuduh kang kaping kalih
panunggul kang kaping tiga
kaping pat dariji manis
dene ta kang kaping lima
wekasan aran jejenthik (SDd. P.I.12)
kawruhana karsanipun
mungguh semuning hyang widhi
wong wadon wus ginawanan
dalil panggonaning estri
iku wajib kinawruhan
karepe sawiji-wiji (SDd. P.I.13)
mula ginawan sireku
jejempol marang hyang widhi
den kayem pol manahira
yen ana karsaning laki
tegese pol den agampang
sabarang karsaning laki (SDd. P.I.14)
mula ginawan panuduh
aja sira kumawani
nikelken tuduhing priya
ing satuduh anglakoni
panunggul pan ginawanan
iku sasmita sayekti (SDd. P.I.15)
prihen ta karyane unggul
miwah lamun apaparing
iya sira unggulena
sanadyan amung sathithik
wajib sira unggulena
mring guna kayaning laki (SDd. P.I.16)
marmane sira puniku
ginawan dariji manis
dipun manis netyanira
yen ana karsaning laki
apa maning yen angucap
ing wacana kudu manis (SDd. P.I.17)
aja dhoso amarengut
nora merakaken ati
ing netya dipun sumringah
sanadyan rengu ing batin
yen ana ngarsaning priya
buwangen aja na kari (SDd. P.I.18)
marmane ginawan iku
iya dariji jejenthik
dipun athak kaithikan (thak-thik)
yen ana karsaning laki
karepe athak ithikan
den tarampil barang kardi (SDd. P.I.19)
Kedudukan
seorang wanita atau putri ini sering kali menjadi perdebatan di masyarakat. Ada
golongan yang menganggap rendah seorang wanita, namun tidak sedikit yang
mendukung emansipasi wanita. Masyarakat Jawa dengan beberapa karya sastra yang
ada, telah membahas kedudukan wanita dengan berbagai keistimewaan. Susuhunan
Paku Buwana IX membahas kedudukan seorang wanita berdasarkan etika Jawa yang
dibalut dengan filosofi driji lima
(jari lima). Penjelasannya seperti ini.
- Jempol, artinya seorang istri akan ayem pol sesuai dengan perintah suami.
- Panuduh, yaitu seorang istri harus memperjelas atau melakukan panuduh (petunjuk)
suaminya.
- Panunggul, merupakan gambaran seorang istri harus melakukan perintah suami dengan
unggul (hasil yang baik).
- Manis, berati seorang istri harus mempunyai wajah (berpenampilan) manis kepada
suami.
- Jenthik, yaitu seorang istri harus bisa othak-athik
atau mempunyai keterampilan.
ETIKA JAWA UNTUK PARA PUTRA
Para
putra sebagai generasi penerus tentu bisa berperan sebagai kelompok yang
penting dalam masyarakat. Para putra yang mempunyai semangat yang membara,
tidak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka membutuhkan suatu pedoman dan contoh
langsung di dalam kehidupan supaya tidak salah dalam melangkah. SWI menampilkan
beberapa etika Jawa yang harus diperhatikan oleh para putra sehingga menjadi
generasi penerus yang baik. Petikan ini menunjukkan contoh etika Jawa untuk
para putra.
semuning nom nampaa wulang utami
kang kanggo neng praja
lumrahing jamanireki
aywa luwih lawan kurang (WPa. P.VIII.9)
pasemone kuda curigestri tulis
jarwane mangkana
kuda den kuwat tarampil
curiga landheping cipta (WPa. P.VIII.10)
wanitadi den bisa ngenaki ati
tur manising sabda
karya kayungyuning laki
sastra parigeling basa (WPa. P.VIII.11)
Berdasarkan petikan tadi, etika Jawa yang
harus diperhatikan oleh pemuda itu difirasatkan dengan ungkapan kuda curigestri tulis. Maksud dari ungkapan
itu, adalah kuda artinya kuat dan
terampil, curiga berarti tajam dalam pikiran, estri
berarti harus bisa menyenangkan hati lan bersikap manis ketika berbicara
sebagai sarana untuk menarik perhatian laki-laki, dan tulis (sastra) itu berati pandai dalam berolah bahasa dan sastra
(ilmu pengetahuan). Konteks yang terjadi di zaman sekarang seperti petikan ini.
ETIKA JAWA UNTUK GURU
Peran
guru di dalam masyarakat juga tidak kalah penting. Guru merupakan pengganti
kedudukan orang tua di lingkungan sekolah. Tugas seorang guru yaitu
menyampaikan ilmu sekaligus membimbing murid-murid dalam berperilaku yang baik.
Mengingat tugas guru yang penting yaitu menentukan arah hidup generasi penerus
bangsa, tentu saja seorang guru juga harus berpengetahuan luas dan berperilaku
yang baik. Berkaitan dengan perilaku guru, di dalam SWI dibahas beberapa etika
Jawa yang harus diperhatikan oleh guru. Petikan ini merupakan salah satu etika
Jawa seorang guru.
heh mulane nguni bener wulangipun
kaping pat sri narapati
lamun sira anggeguru
ngulama kang nora melik
ya marang pawewehing wong (WPa. P.X.12)
Kedudukan seorang guru dalam masyarakat sangat penting. Guru sering dikaitkan dengan sosok yang perannya sebagai penyampai ilmu. Masyarakat Jawa berusaha membuat sebuah ungkapan melalui jarwa dhosok guru yaitu digugu lan ditiru. Maka setiap perilaku dan ucapan seorang guru harus diperhatikan, jangan sampai sebagai penyebab kerusakan pada budi pekerti murid. Khazanah sastra Indonesia juga mempunyai ungkapan, guru kencing berdiri murid kencing berlari, artinya semua perbuatan guru akan menjadi contoh murid-muridnya. Semua pengabdian guru harus dilandasi dengan sikap tanpa pamrih. Sikap guru ini diabadikan dalam hymne guru ciptaan Sartono. (*)
No comments:
Post a Comment