Struktur lakon merupakan unsur pada suatu karya sastra atau seni, khususnya yang mengandung cerita atau narasi. Pada analisis struktur lakon ini disampaikan pembahasan mengenai unsur-unsur pembangun lakon pagelaran wayang kulit Dewi Sri Boyong. Struktur lakon dari pertunjukan wayang kulit tersebut terdiri dari, tema, alur, latar, dan penokohan.
TEMA
Tema
sering disebut juga dengan dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang
mendominasi suatu karya sastra. Menurut jenisnya, tema dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tema mayor dan minor. Tema mayor adalah permasalahan yang
paling dominan menjiwai suatu karya sastra. Tema minor atau sering disebut juga
tema bawahan adalah permasalahan yang merupakan cabang dari tema mayor. Wujud
tema minor dapat berupa akibat yang ditimbulkan oleh tema mayor.
Tema
kepahlawanan merupakan tema mayor dalam pertunjukan Dewi Sri Boyong. Landasan
penilaian tema kepahlawanan sebagai tema mayor, karena lakon Dewi Sri Boyong
merupakan lakon carangan yang bersumber dari kitab Mahabarata yang terkenal
dengan sebutan karya sastra epos atau epik. Landasan lain, yaitu dari jalannya
cerita yang menceritakan perjuangan tokoh-tokoh pandhawa beserta keluarga dan
kerabat yang berusaha mengembalikan Dewi Sri ke kedudukan semula. Sepintas
dapat dilihat dari pertunjukan wayang Dewi Sri Boyong yang menceritakan
keteguhan hati dan pengorbanan Raden Bambang Prabakusuma.
Raden
Bambang Prabakusuma berusaha mendapatkan pengakuan dari orang tua laki-laki
atau ayahnya, yaitu Raden Harjuna. Hal itu tidak serta-merta langsung
didapatkan, karena Raden Praba Kususma harus menunjukkan pengandian dulu kepada
Kerajaan Amarta. Raden Harjuna memerintahkan kepada Raden Praba Kusuma untuk
mencari Dewi Sri dan mengembalikan kedudukannya seperti semula. Raden Praba
Kusuma dengan sikap yang tanggap langsung bersedia menerima perintah tersebut.
Sikap pemuda seperti Raden Praba Kusuma itu menunjukkan tema kepahlawanan.
ALUR
Bagian
eksposisi atau janturan ini menceritakan keadaan negara Amarta. Kerajaan
tersebut merupakan negara yang didirikan oleh Pandhawa yang awalnya berupa
hutan bernama Wanamarta. Ketika sudha dibangun menjadi kerajaan diberi nama
Ngamarta, Batanakawarsa, Cintakapura, juga disebut Indraprastha. Semua rakyat
Kerajaan Amarta merasakan keadaan Kerajaan Amarta yang aman tenteram dan
kondusif. Masyarakat luar Kerajaan Amarta juga merasakan keadaan tersebut,
sehingga akhirnya banyak pendatang yang menetap di wilayah Kerajaan Amarta.
Cerita dilanjutkan dengan penuturan mengenai pemimpin yang berkuasa di Kerajaan
Amarta, yaitu Sri Maha Prabu Puntadewa, Darmakusuma, Yudhistira, Dwijakangga,
Gunatalikrama, juga disebut Sang Ajanasatru. Sampai akhir bagian ini, yaitu
diceritakan pada waktu Respati Manis (Kamis-Legi) Prabu Puntadewa mengadakan
pertemuan dengan para pejabat kerajaan dan saudara yaitu Pandhawa, serta
mengundang raja negara sahabata yaitu Prabu Bathara Kresna dan Prabu Baladewa.
Prabu
Puntadewa sebagai pemimpin di Kerajaan Amarta meminta pendapat Prabu Bathara
Kresna mengenai keadaan Kerajaan Amarta. Pada waktu itu Kerajaan Amarta
mengalami musibah, yaitu banyak rakyat yang mengalami kelaparan dan lahan
pertanian sudah tidak bisa menghasilkan tanaman lagi. Keadaan Kerajaan yang
memprihatinkan seperti menjadi renungan Prabu Puntadewa. Ketika Prabu Bathara
Kresna dan Prabu Baladewa dimintai solusi, ternyata keadaan seperti itu juga
dialami mereka di Kerajaan Dwarawati dan
Kerajaan Mandura. Prabu Bathara Kresna sebagai penjelmaan Bathara Wisnu mengetahui
sebab dari keadaan itu adalah karena adanya mustika
retna linggar saking sasana (hal yang berharga berupa seorang wanita yang
hilang dari tempat). Maksud dari ungkapan tersebut, yaitu Dewi Sri yang
merupakan wujud anugerah kesuburan dan kemurahan pangan di Krajaan Amarta telah
pergi dari tempatnya, sehingga Kerajaan Amarga mengalami keadaan kekurangan
pangan.
Persoalan
pertama pada pertunjukan wayang Dewi Sri Boyong adalah mengenai hilangnya Dewi
Sri dari kedudukan semula dapat diambil solusi dengan saran dari Prabu Bathara
Kresna, namun belum dilaksanakan sudah tumbuh persoalan baru. Persoalan yang
muncul di waktu selanjutnya adalah munculnya seorang satria bernama Raden
Bambang Praba Kusuma. Pemuda tersebut berasal dari Kahyangan Kaendran (Kahyangan
Bathara Indra) dan merupakan putra Dewi Supraba. Prabu Puntadewa yang merasa
penasaran menanyakan maksud Raden Bambang Praba Kusuma datang ke Kerajaan
Amarta. Raden Praba Kusuma mengutarakan tujuannya datang di Kerajaan Amarta
untuk mencari ayahnya yang bernama Raden Arjuna. Berdasarkan cerita dalam
pewayangan, Raden Bambang Praba Kusuma akan diakui oleh Raden Arjuna sebagai
putranya jika bisa mengembalikan Dewi Sri ke kedudukan semula. Hal ini
menunjukkan kalau kemunculan persoalan kedua ada hubungan dengan persoalan yang
pertama atau bisa juga persoalan kedua ini akan menjadi sarana untuk
menyelesaikan persoalan pertama.
Keadaan
krisis ini ditunjukkan merupakan puncak dari alur yang ditandai dengan
berangkatnya pasukan Kerajaan Amarta. Semua satria sebagai pimpinan perang dan
prajurit dipersiapkan. Prabu Baladewa dan Raden Werkudara sebagai golongan tua
mempersiapkan pasukan untuk mencari kedudukan Dewi Sri di Kerajaan
Panjanggribik. Raden Gathutkaca dan para puta Pandhawa ikut terlibat dengan
rencana tersebut. Mereka semua memberangkatkan pasukan dan melawan pasukan
Kerajaan Panjanggribik. Perang ini dinamakan perang gagal, sehingga kedua belah
pihak tidak akan mendapatkan hasil dari peperangan atau tidak ada yang menang
dan kalah.
Bagian
resolusi dalam pagelaran wayang kulit Dewi Sri Boyong ini ditandai dengan
adegan Raden Bambang Praba Kusuma yang sudah menemukan kedudukan Dewi Sri di
Kerajaan Panjanggribik. Hasil dari pertemuan itu, Dewi Sri bersedia kembali ke
Kerajaan Amarta dengan beberapa syarat. Salah satu syarat, yaitu menghargai
budaya dan mengutamakan rasa syukur kepada Tuhan. Raden Bambang Praba Kusuma
bersedia menyampaikan hal tersebut kepada Pandhawa. Terakhir, Dewi Sri
mengetakan akan memberikan tanda apabila sudah kembali yaitu ada bau harum yang
disertai hujan gerimis.
Bagian
keputusan dalam pagelaran wayang Dewi Sri Boyong ini ditandai dengan kembalinya
Dewi Sri ke kedudukan semula di Kerajaan Amarta. Dewi Sri kembali dengan
ditandai bau harus dan hujan gerimis. Ketika Dewi Sri kembali ke kedudukannya,
Kerajaan Amarta menjadi gemah ripah loh jinawe seperti sedia kala. Hal ini
merupakan hasil akhir dari usaha yang dilakukan oleh tokoh Pandhawa dan para
putra untuk kembali ke jadi diri, yaitu menghargai budaya dan membesarkan rasa
syukur.
LATAR
Kerajaan
Amarta merupakan latar tempat yang utama dalam pagelaran wayang ini. Pernyataan
tersebut didasarkan pada kenyataan kalau tokoh utama dalam pagelaran wayang ini
adalah para Pandhawa. Perlu diketahui kalau Kerajaan Amarta adalah kerajaan
Pandhawa. Di Kerajaan Amarta dilakukan beberapa adegan, di antaranya jejer
gapuran, jejer kedhaton, dan jejer paseban jawi.
Latar
waktu yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit Dewi Sri Boyong ini secara
umum adalah pada siang hari. Salah satu adegan yang menunjukkan latar waktu
siang hari adalah dilakukannya adegan pasewakan. Hal tersebut dibuktikan dengan
dilakukan oleh pimpinan kerajaan untuk melakukan pertemuan dengan pejabat
kerajaan untuk membahas keadaan kerajaan. Adegan pada jejer gapuran yang dilakukan
oleh tokoh Prabu Puntadewa, para Pandhawa, dan mengundang Prabu Bathara Kresna
serta Prabu Baladewa. Mereka membahas keadaan kerajaan yang sedang mengalami
musibah dan akan mencari solusi.
Latar
sosial mencakup suatu gambaran kebiasaan dan adat yang dilakukan oleh
masyarakat. Salah satu pencerminan dari adat mengenai perjodohan atau
pernikahan. Di dalam tradisi Jawa perjodohan itu akan terlaksana apabila ada
kesesuaian derajat antara yang keduanya. Adat tersebut masih dilakukan dalam
pertunjukan wayang lakon Dewi Sri Boyong ini. Gambaran umum, yaitu Raden Nila
Taksaka yang mencintai Dewi Sri. Percintaan mereka itu melanggar adat, sehingga
Prabu Merak Kesimpir tidak merestui. Selain masyarakat yang memang tidak
menghendaki itu, namun takdir dari Tuhan pun tidak berpihak kepada Raden Nila
Taksaka. Takdir mengharuskan Dewi Sri untuk kembali ke Kerajaan Amarta.
PENOKOHAN
Proses
penokohan sering kali disebut perwatakan atau karakterisasi. Menurut
Nurgiyantoro (2002: 195) terdapat dua teknik pelukisan tokoh, yaitu teknik
analitis dan dramatik. Teknik analitis adalah cara pelukisan tokoh cerita yang
dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara
tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi
kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan
ciri fisiknya. Teknik dramatik yaitu penampilan tokoh cerita dalam teknik
dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara
tak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap
serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk
menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik
secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku,
dan melalui peristiwa yang terjadi.
Penokohan
dalam pagelaran wayang memiliki teori tersendiri, yaitu berdasarkan
penyimpingan dan warna wajah. Penyimpingan merupakan cara menancapkan wayang
pada pakeliran, yaitu tokoh satria itu ada di sebelah kanan dan tokoh raksasa
ada di bagian kiri. Cara kedua berdasarkan warna wajah, yaitu wajah putih
menandakan tokoh yang berbudi baik, hitam merupakan tokoh berbudi teguh, dan
tokoh berwajah merah tokoh yang penuh amarah. Beberapa contoh tokoh dalam
pagelaran wayang kulit lakon Dewi Sri Boyong.
Penokohan yang ketiga dapat dilihat dari jalannya cerita. Karakter tokoh dapat disimpulkan dengan menelaah dari cerita yang ditampilkan. Sebagai contoh adalah tokoh Raden Bambang Praba Kusuma. Dia merupakan tokoh pemuda yang bersedia mengorbankan jiwa dan raga untuk membela negara atau memenuhi kepentingan negara. Raden Bambang Praba Kusuma menerima perintah Raden Arjuna untuk mengembalikan Dewi Sri ke kedudukan semula. (*)
No comments:
Post a Comment