Kritik sastra merupakan suatu proses analisis terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan, metode, dan teori tertentu. Sebenarnya yang disebut kritik sastra adalah wujud penilaian terhadap karya sastra yang menitikberatkan terhadap keindahan karya sastra. Proses kritik sastra harus menggunakan kerangka yang sudah pasti dan sudah ditentukan sebagai tahapan-tahapan analisis data.
Pembahasan ini akan menganalisis novel Carang-Carang Garing yang ditulis oleh Tiwiek S.A. Judul novel
tersebut tidak sembarangan dipilih, namun mempunyai makna yang sesuai dengan
isi ceritanya. Carang-carang garing
merupakan pucuk-pucuk bambu yang sudah mengering yang gunanya hanya sebagai
kayu bakar dan tidak bisa digunakan untuk bahan lainnya. Makna yang tersirat
dari kata-kata tadi adalah sebagai pengibaratan kalau kehidupan orang kecil itu
selalu sengsara, selalu menerima olok-olokan dari masyarakat, dan menerima
perilakuan yang kurang mengenakkan dari orang kaya. Akhir cerita ini
kesengsaraan tokoh masih ditambah lagi dengan masuknya penjara.
Proses mengritik karya sastra tidak lepas dengan teori sastra
yang akan digunakan. Pemilihan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
karya sastra harus sesuai dengan unsur-unsur yang menonjol dalam karya sastra.
Melihat isi novel Carang-Carang Garing
maka teori sastra yang akan digunakan untuk menganalisis adalah teori realisme
sastra. Menurut Gustaf Flaubert, realisme sastra yaitu teori sastra yang
berusaha menggambarkan objek dengan apa adanya seperti apa yang disampaikan
oleh penulis dan bersifat objektif.
KESENGSARAAN ORANG KECIL
Kesengsaraan sebagai orang kecil ini bisa dilihat dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Hasil dari mereka bekerja hanya bisa digunakan untuk kebutuhan
makan sehari-hari, tanpa bisa menyisihkan untuk tabungan masa depan. Contoh
kehidupan orang kecil di kota adalah, seperti kaum buruh, tukang bangunan,
tukang becak, dan sebagainya. Di desa juga banyak dijumpai kehidupan orang
kecil, misalnya petani, pedagang, dan sebagainya.
Cerita dalam novel Carang-carang Garing seperti berikut. “Wong tuwane sakloron wis wiwit repet-repet
mau budhal makarya. Bapake budhal menyang kutha narik becak dene simboke
menyang pasar dodol bumbon (halaman 1).” Artinya, “Kedua orang tuanya sejak
pagi sudah berangkat bekerja. Ayahnya berangkat ke kota untuk menarik becak,
sedangkan ibunya ke pasar berjualan bumbu dapur.”
Tokoh ayah dalam novel Carang-Carang
Garing tersebut bernama Suyatman dan ibu tersebut bernama Darminah.
Keduanya hidup di pinggiran Kota Tulungagung. Kehidupan mereka bisa dikatakan
kurang berkecukupan. Mereka harus bekerja setiap hari tanpa ada hentinya untuk
mencukupi kebutuhan keluarga. Suyatman harus mengayuh becaknya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal tersebut mungkin masih
bisa diterima, namun sang istri yaitu Darminah juga harus iku menganggung beban
keluarga dengan memanggul barang dagangan berupa bumbu masakan ke pasar setiap
pagi. Rutinitas seperti itu yang mereka lakukan setiap hari untuk mencukupi
kebutuhan setiap hari dan masih banyak dijumpai dalam masyarakat sekarang.
BERPERILAKU BURUK
Banyak sekali contoh perilaku buruk di dalam kehidupan
bermasyarakat di dunia ini, contohnya sikap buruk di dalam novel Carang-Carang Garing adalah berjudi,
bermain wanita, pelacuran, dan pembunuhan. Perilaku-perilaku tersebut sangat
tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Semua unsur masyarakat pasti mengetahui
perilaku buruk tersebut. Walaupun begitu, untuk mencegah hal-hal itu supaya
tidak terjadi juga cukup sulit. Pemerintah sudah berusaha keras untuk
mengurangi perilaku buruk dalam masyarakat, misalnya dengan menutup prostitusi.
“Lan kaya umume tukang becak wektu iku, yen pas nyekel dhuwit njur padha main kertu. Papan sing kulina kaggo main ya neng terminl kono, utawa neng stasiun. Dhasar nasib becik, dina iku Suyatman menan najan ora akeh (halaman 74).”
Artinya:
“Dan seperti umumnya tukang becak waktu itu, kalau sedang memegang uang lalu semua bermain judi. Tempat yang biasa digunakan yaitu di terminal sana, atau si stasiun. Memang nasib baik, hari itu Suyatman menang walaupun tidak banyak.”
Data yang diambil dari novel Carang-Carang Garing tersebut menunjukkan perilaku buruk berjudi.
Banyak kalangan masyarakat yang terjebak dalam dunia ini, karena mereka
berpandangan pragmatis dalam menghadapi hidup. Manusia sering perkiran kalau
hidup dengan baik dan sungguh-sungguh itu sangat sulit, sehingga mereka
mengambil cara pintas. Suyatman sebagai seorang tukang becak juga merasa
bagaimana harus mengayuh roda becaknya setiap hari demi mencari sesuap nasi.
Maka dari itu, sering kali Suyatman mempunyai pemikiran pintas untuk
mendapatkan uang secara pintas seperti berjudi. Hal-hal tersebut jika diamati
masih juga dilakukan masyarakat.
KEPERCAYAAN KEPADA GUGON TUHON
Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia itu sudah memasuki
masyarakat madya, yaitu masyarakat yang mulai memasuki zaman modern namun masih
mempercayai kepercayaan nenek moyang di zaman tradisional. Banyak sekali kaum
terpelajar di Indonesia yang sudah menyelasiakan studi di perguruan tinggi
memasuki dunisa kerja di dunia nyata. Mereka berpikiran maju di dalam
menghadapi dunia dengan alat-alat elektronik yang mereka miliki. Di sisi lain,
anggota masyarakat yang sudah berusia tua masih belum bisa mengikuti
perkembangan zaman dan tetap bertahan pada kepercayaan yang mereka percayai
sejak dulu. Kedua hal itu yang enyebabkan Indonesia termasuk masyarakat
madya.
“Pak Gumbreg nyedhak karo krenggosan. Tembunge, “Nek pengin slamet aja kokbacutne nggonmu amek urang. Aku mentas ngimpi ditemoni Mbah Brewok,” ujare Pak Gumbreg tumemen (halaman 29).”
Artinya:
“Pak Gumbreg mendekat dengan terengah-engah. Katanya, ‘Kalau ingin selamat jangan kamu teruskan mencari udang. Saaya baru saja didatangi Mbah Brewok,’ kata Pak Gumbreg sungguh-sungguh.”
Data yang ditampilkan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di daerah tempat tinggal Suyatman masih mempunyai kepercayaan pada arwah leluhur. Ketika di sungai banyak ditemukan udang, mereka beramai-ramai mengambil dan digunakan untuk lauk-pauk. Ketika masyarakat banyak yang melakukan hal itu, ada anggota masyarakat yang tidak suka yaitu Pak Gumbreg. Dia mempunyai akal untuk mengelabui masyarakat dengan mengatasnamakan leluhur, yaitu Mbah Brewok yang tidak mengizinkan udang-udang di sungai itu diambil. Masyarakat percaya dan menghentikan pencarian udang di sungai. Hal-hal itu sesuai dengan realitas di masyarakat. (*)
No comments:
Post a Comment