Serat Wulang Dalem Paku Buwana II ini mulai ditulis oleh Sunuwun Paku Buwana II di hari Kamis, lima belas, Ruwah tahun Ehe, Windu Sengara atau musim penghujan bulan kesembilan. Sengkalan yang digunakan adalah waradik sapta pandhita ratu. Dalam Serat Wulang Dalem Paku Buwana II ini ada berbagai pelajaran kehidupan untuk semua masyarakat di Tanah Jawa, yaitu dengan cara mempelajari karya sastra Jawa dan Arab untuk mengetahui sifat utama, madya, dan nistha.
SERAT WULANG DALEM PAKU BUWANA II SEBAGAI KARYA SASTRA
ADILUHUNG
Serat Wulang Dalem Paku Buwana II merupakan karya sastra yang ditulis oleh Sinuwun Paku
Buwana II. Menurut sejarah, Sinuwun Paku Buwana II merupakan raja terakhir
Kerajaan Kartasura dan raja pertama Kerajaan Surakarta. Ketika masih muda
Sinuwun Paku Buwana II bernama Raden Mas Purbasuyasa yang lahir dari permaisuri
dan masih keturunan Sunan Kudus.
Sinuwun
Paku Buwana II selain berkedudukan sebagai raja, juga bisa dikatakan sebagai
pujangga. Seorang pujangga itu harus mempunyai beberapa sifat berikut ini.
- Awicara yaitu ahli sastra. Maksudnya orang tersebut harus ahli dalam merakit cerita dan bisa memceritakan.
- Mardawa basa yaitu ahli bahasa. Artinya orang tersebut harus bisa atau terampil dalam hal bahasa.
- Mardawa lagu yaitu ahli tembang. Artinya orang tersebut harus ahli di bagian gendhing atau tembang-tembang Jawa.
- Sambegana yaitu kuat daya ingatnya. Artinya tajam pemikirannya atau pemikiran dengan cara rasional.
- Nawung kridha atau waskitha yaitu mempunyai pemikiran dan budi pekerti yang tulus. Artinya orang tersebut harus bisa membaca keadaan (hati) manusia atau intuisi.
Serat Wulang Dalem Paku Buwana II berupa
tembang macapat, yaitu terdiri dari empat pupuh antara lain Sinom,
Dhandhanggula, Pangkur, dan Durma. Ciri-ciri sebagai karya sastra yang adiluhung adalah dengan penggunaan
bahasa Jawa Baru sehingga arti dan makna mudah dimengerti, serta berdasarkan gaya
bahasa yang digunakan. Contoh gatya bahasa yang digunakan antara lain tembung garba atau persandian, daya sastra, purwakanthi, dan sasmitane tembang.
Tembung garba yang digunakan contohnya seperti ini, “nagari
Surakarteku” (pupuh Sinom, bait 2) yang aslinya kata Surakarteku itu terdiri
dari dua kata yaitu Surakarta dan aku. Bagian lainnya adalah daya sastra yang ditunjukkan pada data
“ing saturun-turun tedhak” (pupuh Sinom, bait 28). Kalimat itu menurut tata
bahasa dinilai terbalik, seharusnya ditulis “satedhak-turune”. Gaya bahasa
selanjutnya adalah purwakanthi, yaitu
pada data “dhemen budining wong ala, ambuh budining wong becik” (pupuh Sinom,
bait 26). Bila dianalisis data tersebut merupakan purwakanthi basa atau lumaksita
karena ada pengulangan suku kata. Terakhir yaitu sasmitane tembang, yang terlihat pada data “aja mungkur ing nalar”
(pupuh Dhandhanggula, bait 28). Sasmita tembang tersebut menunjukkan kalau
pupuh tembang akan berganti ke tembang Pangkur.
SERAT WULANG DALEM PAKU BUWANA II SEBAGAI KARYA SASTRA
PIWULANG
Ajaran Agama
Banyak ajaran agama yang menjadi acuan hidup manusia. Tujuan manusia harus mematuhi ajaran agama adalah untuk keselamatan dunia sampai akhirat. Ajaran agama tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab suci saja, namun juga bisa terdapat dalam karya sastra. Sejalan dengan sifat karya sastra sebagai sastra piwulang, maka Serat Wulang Dalem Paku Buwana II ini mengandung ajaran agama, contohnya mengenai rukun Islam.
Data
yang disajikan tersebut menunjukkan bahwa Serat
Wulang Dalem Paku Buwana II juga mengandung ajaran agama Islam, yaitu
mengenai Rukun Islam. Penulis mewajibkan kepada pembaca untuk mengetahui Rukun
Islam yang terdiri dari membaca syahadat, mendirikan shalat, menunaikan puasa,
membayar zakat, dan menunaikan haji apabila sudah mampu. Semua hal itu wajib
dilakukan oleh umat Islam untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Ajaran Sastra
Karya sastra merupakan pencerminan dari kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai pembahasan yaitu karya sastra Jawa juga merupakan hasil kebudayaan masyarakat Jawa. Pada periodisasi sastra Jawa baru, kesusastraan Jawa mendapatkan pengaruh sastra Arab atau Islam. Cara penyampaian sastra Jawa waktu itu dikenal dengan dua cara, yaitu mozaik dan sinkretisme, sifat mozaik yaitu di dalam karya sastra tersebut masih bisa dipilah-pilah antara ajaran Islam dengan budaya-budaya Jawa yang disajikan. Sifat sinkretisme yaitu ajaran Islam dan budaya Jawa yang disajikan sudah tidak bisa dipisah-pisahkan lagi.
Data
tersebut menunjukkan keadaan mengenai kedudukan sastra Arab dan sastra Jawa di
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kedudukan keduanya saling melengkapi, yaitu
sastra Arab sebagai pengetahuan batin sedangkan sastra Jawa sebagai pengetahuan
lahir. Kedudukan sastra Arab sebagai pengetahuan batin, mempunyai maksud isi ajaran
dalam karya sastra tersebut tidak hanya berhubungan hal-hal yang bersifat
duniawi tetapi juga dunia akhir. Kedudukan sastra Jawa sebagai pengetahuan
lahir, yaitu karya sastra Jawa lebih tertuju ke pengetahuan duniawi.
Ajaran Budi Pekerti
Masyarakat
Jawa sebagai bangsa timur mengutamakan musyawarah untuk menyelesaikan suatu
permasalahan. Sampai zaman sekarang masyarakat Jawa itu terkenal dengan sikap
ramah-tamah dan musyawarah. Sikap-sikap tersebut dilakukan turun-temurun dari
nenek moyang sampai sekarang. Hasil dari musyawarah yaitu mufakat atau
penyetujuan bersama dari beberapa keputusan untuk dilaksanakan bersama. Dalam
bermusyawarah ketika sudah mufakat, semua orang tidak boleh merasa
dikesampingkan, apalagi muncul permusuhan.
Sinuwun
Paku Buwana II mengatakan kalau setiap manusia itu harus mengutamakan sifat-sifat
baik, antara lain musyawarah, bertanya, mencontoh semua perilaku yang menuju
keselamatan, dan kebaikan badan yang menjadi anugerah Tuhan. Data yang
disampaikan tadi menunjukkan bahwa musyawarah dan sebagainya itu akan bisa
membawa manusia menuju ke keselamatan dan kebaikan diri pribadi dan masyarakat.
Sehingga ajaran yang tercermin dalam data ini adalah musyawarah itu merupakan
jalan kebaikan yang menumbuhkan keselamatan. (*)
Keterangan: dikutip dari makalah Teori dan Penerapan Terhadap Periodisasi Sastra Jawa oleh Bangkit Irmanudin Bahri
No comments:
Post a Comment