Menjelang tahun 1486, eksistensi kerajaan Wengker sudah pudar. Namun, masih ada beberapa kekuatan yang dikoordinir Ki Ageng Kutu Suryangalam di Kademangan Surukubeng. Kekuatan-kekuatan ini berada di desa Siman, gunung Loreng, gunung Pegat, desa Sukosewu, satu lagi, yaitu desa Golan atau desa Karang di bawah pimpinan Ki Hanggalana. Semuanya masih menganut agama Budha.
Secara geografis desa Golan berdekatan dengan desa Mirah atau
Nambangan. Desa Mirah adalah kediaman Ki Ageng Mirah yang nama aslinya Kyai
Muslim, penyebar agama Islam yang datang di Wengkar lebih dulu daripada Raden
Bathara Katong.
Ketika putra Ki Hanggalana yang bernama Jaka Lancur ingin mempersunting perawan Mirah, putri Ki Ageng Mirah. Terjadi suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan. Peristiwa ini diawali dari perbedaan agama kedua calon mempelai hingga tewasnya kedua calon mempelai.
Sehingga ada sungai yang mengalir
dari desa Golan dengan sungai yang mengalir dari Mirah, namun pertemuan air itu
tidak dapat menyatu dan nampak airnya berpisah. Ki Ageng Kutu kalah dan
jasadnya menghilang di Dloka, sedangkan Ki Hanggalana tewas oleh Raden Selaaji.
Kemudian disusul dengan beberapa pantangan yang dianut oleh penduduk kedua desa tersebut. Beberapa pantangan itu, penduduk desa Mirah tidak berani menyimpan kawul (batang padi) dan titen (kulit kedelai atau kacang hijau), karena mudah terbakar. Tidak berani menjalin pernikahan antara penduduk desa Golan dengan penduduk desa Mirah.
Penduduk desa Mirah bila membawa barang dari Golan, sebelum
keluar dari desa Golan dia akan kebingungan tidak tahu jalan mana untuk menuju
rumahnya. Dia akan terus memutar-mutar di situ. Demikian sebaliknya, bila benda
itu tidak segera dibuang. (*)
No comments:
Post a Comment